Saturday, October 14, 2006
Agar tak Ambrol Digoyang Gempa

Bagi sebagian penduduk Indonesia, seperti di Liwa, Bengkulu, Banggai, dll, gempa bumi merupakan bencana alam yang harus selalu mereka hadapi setiap saat. Pasalnya, tempat yang mereka huni merupakan salah satu jalur gempa di Indonesia.

Kegiatan gempa bumi yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia terkonsentrasi pada tapal batas pertemuan antara 3 lempeng kaku yaitu Lempeng India-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pacific. Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah timur dan menumbuk lempeng benua Eurasia yang relatif stabil, sehingga membentuk jalur subduksi (subduction) sepanjang 6.500 km yang membentang mulai dari laut Andaman di sebelah barat Sumatera berbelok di selat Sunda ke arah selatan Jawa serta menerus ke bagian timur kawasan Indonesia.

Secara historis Sumatera bagian barat yang dekat pertemuan lempeng India-Australia dan Eurasia telah mengalami gempa-gempa besar sebelumnya, seperti gempa Kerinci (tahun 1909, 7 Oktober 1995 berkekuatan 7 SR), gempa dataran tinggi Padang (tahun 1926, 1943), gempa Liwa (tahun 1932, 16 Februari 1994 berkekuatan 6,5 SR), gempa Tes (tahun 1952), gempa Aceh (tahun 1979), gempa Sarulla (tahun 1984) dan gempa Tarutung (tahun 1987).

Sayangnya, tingginya aktivitas kegempaan di Indonesia ini tidak diikuti dengan kesiapan masyarakat untuk menghadapi bencana ini. Misalnya saja kesiapan dari sisi membuat bangunan tahan gempa.

Menurut Staf Pengajar Teknik Sipil ITB, Dr. Ir. Sindur P. Mangkoesoebroto Masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan struktur dinding pasangan terkekang. Struktur ini sebetulnya merupakan tembok batu bata biasa dengan kolom-kolom praktis.

Batu bata merupakan material bangunan yang banyak dipilih masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan karena banyak tersedia dan harganya ekonomis. Namun pada umumnya bangunan rumah penduduk yang menggunakan batu bata tidak memenuhi syarat. Misalnya saja, bata yang digunakan terlalu lunak dan rapuh, cara pemasangannya kurang bagus dan sambungan antara kolom dengan balok yang tidak mengikat sehingga ketika terkena gaya, satu sama lain lepas dan tidak bisa mengekang. Padahal, menurut Sindur, antara kolom dan balok seharusnya saling mengekang.

"Banyak sekali kesalahan yang terjadi di lapangan. Baik itu pada rumah-rumah penduduk yang dibangun dengan biaya rendah maupun pada rumah-rumah mewah yang harganya mahal. Karena itu jika bangunan-bangunan tersebut terkena gempa bumi maka resiko yang akan terjadi pada masyarakat sederhana juga akan dialami masyarakat yang lebih kaya," katanya.

Hal seperti ini disaksikan langsung oleh peneliti dari National Institut for Land and Infrastruktur Management (NILIM) Jepang, Dr. Tetsuro Goto. Dr. Goto yang melakukan peninjauan ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena gempa bumi melihat bahwa kerusakan bangunan terjadi pada hampir semua strata masyarakat. Di Bengkulu misalnya, ia menyaksikan rumah wakil bupati setempat mengalami kerusakan cukup parah, sama halnya dengan perumahan penduduk pada umumnya. Itu menandakan bahwa pembangunan perumahan pada berbagai strata masyarakat tidak memenuhi persyaratan struktur bangunan yang benar.

Dr. Goto yang melakukan pendokumentasian gedung-gedung yang rusak kemudian melakukan analisis tentang kerusakan yang terjadi. Goto menunjukkan, bagaimana satu dinding pada sebuah rumah bisa tetap berdiri tanpa kerusakan berarti, sementara dinding lainnya justru ambrol.

"Pemilik rumah tanpa menyadari telah membangun dinding pada satu sisi dengan konstruksi yang benar yaitu membuat dinding tersebut terikat secara kuat dengan adanya kolom-kolom. Tapi pada sisi yang lain dari rumah itu, dia tidak membangunnya dengan benar," jelasnya.

Di negara asalnya, Jepang, yang juga sama-sama daerah rawan gempa di dunia, tidak dikenal batu bata merah. Disana, rumah-rumah atau apartemen dibangun dari suatu jenis brick yang dibuat oleh pabrik dan memiliki kekuatan yang lebih baik terhadap gempa bumi.

Ia sudah melakukan penelitian karakteristik kinerja perumahan tahan gempa dengan struktur bata tersusun (bata Jepang kualitas menengah). Kalaupun ia tertarik menganalisis kerusakan bangunan di Indonesia, hal itu antara lain didasari pada kepeduliannya terhadap Indonesia yang sama-sama berada di daerah rawan gempa dunia.

"Indonesia dan Jepang berada di daerah rawan gempa. Kita tidak bisa melarikan diri dari bencana itu. Namun kami para engineer berpikir bagaimana agar pembangunan di daerah seperti itu bisa berkelanjutan. Karena itulah saya mengamati bentuk-bentuk kerusakan bangunan yang terjadi dan menganalisa kesalahan yang dilakukan pemilik rumah ketika membangun," jelasnya.

Dengan menganalisa bentuk-bentuk kerusakan tadi, lanjut Goto, para insinyur harus berpikir bagaimana agar gedung-gedung bisa bertahan terhadap gempa bumi. Dalam kaitan itulah NILIM bersama Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Rekayasa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan instansi terkait, mengadakan kerjasama penelitian dinding pasangan terkekang.

Menurut Dr. Sindur, penelitian pasangan terkekang ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Saat ini, lanjut Sindur, petunjuk penggunaan 'Pasangan Terkekang' belum dibuat di Indonesia. Salah satu alasannya karena para insinyur menganggap pasangan terkekang merupakan struktur sederhana sehingga tidak memberikan perhatian khusus. Di sisi lain, hingga kini belum ada petunjuk praktis bagi masyarakat atau tukang-tukang bangunan tentang bagaimana bangunan yang memenuhi syarat-syarat tahan gempa dan benar secara struktur.

Diakuinya, untuk mengembangkan struktur pasangan terkekang memang masih perlu dilakukan penelitian struktur lebih lanjut serta penerapannya secara langsung yang dikembangkan dalam pembangunan berkelanjutan. "Penelitian pasangan terkekang ini masih butuh waktu beberapa tahun lagi karena adanya keterbatasan dana penelitian. Hasil penelitian ini akan direkomendasikan pada pemerintah sebagai panduan bagi masyarakat dalam membangun rumah dan memperbaiki cara-cara memasang tulangan atau batu batanya sehingga tidak akan terlepas manakala terkena suatu gaya," ujarnya.

Sindur mengatakan, pada pembuatan bangunan dengan struktur pasangan terkekang ini komponen yang ditambahkan adalah tulangan horizontal dan tambahan balok. Penambahan ini bisa jadi akan menambah biaya awal pembangunan sekira 10-15%. Namun penambahan biaya pada awal pembangunan itu, menurutnya, menjadi tidak signifikan jika dibandingkan dengan tingginya nilai keamanan bangunan terhadap gempa bumi. (Ifa/PR). ***

0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

BLOGGER

Calender

Get your own calendar

Previous Post
Arsip la yaw......
Kesen dan Pesen
nama :
web site:
Pesan dan kesan.. :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Rekanan
Powered by