Sunday, October 08, 2006
"Machizukuri", Model Partisipasi Masyarakat Jepang dalam Pembangunan Kota
Perkembangan Perencanaan Kota di Jepang

"Machizukuri" adalah istilah dalam bahasa Jepang yang terdiri dari 2 kata yakni "machi" (kota) dan "zukuri" (membangun, berkreasi) yang belakangan ini menjadi istilah umum atau gerakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari di Jepang. Meskipun secara harfiah berarti "membangun atau merencanakan kota" tetapi dalam definisi selanjutnya (2 dasa warsa belakangan ini) menjadi lebih menekankan pada kegiatan partisipasi masyarakat untuk pembangunan wilayahnya (community participation). Ini adalah model pembangunan tengah-tengah, kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat sebagai intinya (community-based planning). Intinya, masyarakat tidak bisa hanya bergantung dari kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah saja, melainkan yang diutamakan lebih dahulu adanya inisiatif dan masukan dari masyarakat.
Dari sini, manfaat eksistensi "machizukuri" tampak nyata. Banyak rencana wilayah yang selesai berkat partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat terbantu menjadi lebih hidup (semacam chounaikai, chijikai), dan juga secara tak langsung memberi porsi demokrasi pada pengambilan keputusan dari tingkat bawah. Beberapa hasil rencana yang banyak mendapat perhatian atau dijadikan contoh antara lain adalah: Kobe City Machizukuri Ordinance (1982 dan 1995), Setagaya Machizukuri Ordinance (1982, direvisi tahun 1995), Toyonaka Machizukuri Ordinance (1994), dan Kamakura Machizukuri Ordinance (1997). Beberapa keunikan bisa pula dilihat di situ, seperti bagaimana warga Setagaya berinisiatif untuk berdiri menjadi sebuah kecamatan sendiri atau warga Kamakura menghasilkan konsep hidup berdampingan dengan (kawasan) "sejarah". Bisa pula dibandingkan bagaimana usulan warga Kobe pada saat sebelum gempa (1982) dan hasil adaptasi pada rencana baru setelah gempa (1995).
Momentum Gerakan "Machizukuri"
Satu penyebab penting merebaknya gerakan "machizukuri" ke dalam satu tatanan sosial masyarakat Jepang yang meluas dewasa ini adalah adanya kombinasi gerakan "top-down" perencanaan kota dari pemerintah pusat Jepang yang kaku berbarengan dengan meroketnya ekonomi Jepang pada tahun 1980-an tadi, ditambah banyaknya ketidakpuasan terhadap pembangunan yang sering dibarengi dengan banyaknya masalah lingkungan yang terjadi, terutama pada pembangunan pusat-pusat kota (inner city development) di akhir 80-an. Meskipun pada awal merebaknya gerakan "machizukuri" (akhir 80-an) dengan dukungan pemerintah daerah, tapi pada kenyataannya kontrol yang berlebihan masih tetap sering mereka dapatkan (Kawashima, 2001).
Gempa Kobe (Hanshin-Awaji Earthquake) di tahun 1995 adalah titik tolak kebangkitan gerakan "machizukuri" ini di Jepang. Beberapa sumber menyebut bahwa respon pemerintah (pusat maupun daerah) yang kurang cukup, tergantikan oleh usaha nyata sukarela dari masyarakat yang lebih cepat dan lebih efektif. Dari situ menjadi bukti yang memperkuat disahkannya Undang-undang Kegiatan Nonprofit Khusus (Law to Promote Specialized Non-Profit Activities) yang baru pada tanggal 25 Maret 1998. Dari data di Kantor Kabinet (2006) diketahui juga bahwa sejak tahun 1998 hingga 31 Maret 2006 lebih dari 15 ribu NPO terdaftar di Jepang, dan hampir seperlimanya (lebih dari 2500 NPO) adalah organisasi masyarakat yang bergerak dalam kegiatan "machizukuri". Secara langsung ini membuat posisi tawar masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan lingkungan juga menjadi semakin kuat.
Implementasi Gerakan "Machizukuri"

Satu yang harus disesuaikan dengan kegiatan pembangunan dengan model "machizukuri" ini adalah kesabaran dalam menampung semua aspirasi masyarakat yang berimplikasi pada lamanya waktu (dari rencana sampai eksekusi) yang diperlukan dalam sebuah kegiatan. Dari sini, perencanaan jangka panjang, seperti pembuatan rencana induk (master plan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, kegiatan "machizukuri" sangat lah membantu untuk menyerap aspirasi masyarakat secara utuh. Dari simulasi beberapa kegiatan yang telah banyak dilakukan, tahapan-tahapan yang ada semacam: "sharing" visi, memperkecil kontradiksi, sampai membangun dan menyetujui usulan strategis bersama-sama, benar-benar menuntut ketahanan. Dalam proses pengambilan keputusan ini masyarakat didampingi oleh fasilitator yang mempunyai kompetensi, seperti dari perguruan tinggi atau penunjukkan dari pemerintah daerah. Meskipun menguras enerji, tetapi proses semacam ini mampu untuk menghindari munculnya beberapa kasus perencanaan yang masif dan intensif dengan modal besar, yang biasanya berujud proyek yang tiba-tiba, "menekan", dan harus diselesaikan dalam hitungan dan target waktu tertentu.
Dari sini, manfaat eksistensi "machizukuri" tampak nyata. Banyak rencana wilayah yang selesai berkat partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat terbantu menjadi lebih hidup (semacam chounaikai, chijikai), dan juga secara tak langsung memberi porsi demokrasi pada pengambilan keputusan dari tingkat bawah. Beberapa hasil rencana yang banyak mendapat perhatian atau dijadikan contoh antara lain adalah: Kobe City Machizukuri Ordinance (1982 dan 1995), Setagaya Machizukuri Ordinance (1982, direvisi tahun 1995), Toyonaka Machizukuri Ordinance (1994), dan Kamakura Machizukuri Ordinance (1997). Beberapa keunikan bisa pula dilihat di situ, seperti bagaimana warga Setagaya berinisiatif untuk berdiri menjadi sebuah kecamatan sendiri atau warga Kamakura menghasilkan konsep hidup berdampingan dengan (kawasan) "sejarah". Bisa pula dibandingkan bagaimana usulan warga Kobe pada saat sebelum gempa (1982) dan hasil adaptasi pada rencana baru setelah gempa (1995).

Momentum Gerakan "Machizukuri"

Satu penyebab penting merebaknya gerakan "machizukuri" ke dalam satu tatanan sosial masyarakat Jepang yang meluas dewasa ini adalah adanya kombinasi gerakan "top-down" perencanaan kota dari pemerintah pusat Jepang yang kaku berbarengan dengan meroketnya ekonomi Jepang pada tahun 1980-an tadi, ditambah banyaknya ketidakpuasan terhadap pembangunan yang sering dibarengi dengan banyaknya masalah lingkungan yang terjadi, terutama pada pembangunan pusat-pusat kota (inner city development) di akhir 80-an. Meskipun pada awal merebaknya gerakan "machizukuri" (akhir 80-an) dengan dukungan pemerintah daerah, tapi pada kenyataannya kontrol yang berlebihan masih tetap sering mereka dapatkan (Kawashima, 2001).

Gempa Kobe (Hanshin-Awaji Earthquake) di tahun 1995 adalah titik tolak kebangkitan gerakan "machizukuri" ini di Jepang. Beberapa sumber menyebut bahwa respon pemerintah (pusat maupun daerah) yang kurang cukup, tergantikan oleh usaha nyata sukarela dari masyarakat yang lebih cepat dan lebih efektif. Dari situ menjadi bukti yang memperkuat disahkannya Undang-undang Kegiatan Nonprofit Khusus (Law to Promote Specialized Non-Profit Activities) yang baru pada tanggal 25 Maret 1998. Dari data di Kantor Kabinet (2006) diketahui juga bahwa sejak tahun 1998 hingga 31 Maret 2006 lebih dari 15 ribu NPO terdaftar di Jepang, dan hampir seperlimanya (lebih dari 2500 NPO) adalah organisasi masyarakat yang bergerak dalam kegiatan "machizukuri". Secara langsung ini membuat posisi tawar masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan lingkungan juga menjadi semakin kuat.

Implementasi Gerakan "Machizukuri"

Satu yang harus disesuaikan dengan kegiatan pembangunan dengan model "machizukuri" ini adalah kesabaran dalam menampung semua aspirasi masyarakat yang berimplikasi pada lamanya waktu (dari rencana sampai eksekusi) yang diperlukan dalam sebuah kegiatan. Dari sini, perencanaan jangka panjang, seperti pembuatan rencana induk (master plan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, kegiatan "machizukuri" sangat lah membantu untuk menyerap aspirasi masyarakat secara utuh. Dari simulasi beberapa kegiatan yang telah banyak dilakukan, tahapan-tahapan yang ada semacam: "sharing" visi, memperkecil kontradiksi, sampai membangun dan menyetujui usulan strategis bersama-sama, benar-benar menuntut ketahanan. Dalam proses pengambilan keputusan ini masyarakat didampingi oleh fasilitator yang mempunyai kompetensi, seperti dari perguruan tinggi atau penunjukkan dari pemerintah daerah. Meskipun menguras enerji, tetapi proses semacam ini mampu untuk menghindari munculnya beberapa kasus perencanaan yang masif dan intensif dengan modal besar, yang biasanya berujud proyek yang tiba-tiba, "menekan", dan harus diselesaikan dalam hitungan dan target waktu tertentu.
Di Kota Kobe, Hyogo Prefektur sebagai contoh, semenjak pembangunan kembali kotanya dari reruntuhan bencana itu, telah memikirkannya secara matang konsep pembangunan bagian kota yang berbasis pada keseimbangan pembangunan komunitas, ekonomi, dan lingkungan warga yang membentuk jejaring dalam kota (Gambar 3.). Juga di Kota Fukaya, Saitama Prefektur, yang oleh para peneliti dicap sukses dalam merestorasi isu terkini dalam sebuah kota ini dengan jalan mengoptimalkan partisipasi masyarakatnya melalui kegiatan "machizukuri" ini. Buktinya, pusat Kota Fukaya berupa Jalan Nakasendou menjadi hidup kembali melalui serangkaian revitalisasi fisik dan mengisinya dengan berbagai macam aktivitas warga kota yang sebagian besar lanjut usia itu (dari bisnis misalnya "pasar tiban" sampai kegiatan budaya semacam festival).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 

BLOGGER

Calender

Get your own calendar

Previous Post
Arsip la yaw......
Kesen dan Pesen
nama :
web site:
Pesan dan kesan.. :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Rekanan
Powered by